Ternyata ghibah (membicarakan keburukan orang lain) itu boleh, jika…

ghibahSaya kurang tahu pasti kapan infotainment yang seolah 24 jam nonstop mengabarkan kebaikan (juga keburukan) orang-orang yang dilabel artis ini mulai disiarkan di belantika pertelevisian Indonesia. Namun yang jelas, program televisi yang identik dengan ghibah atau membicarakan/membahas/mengabarkan keburukan orang lain ini sukses menjadikan penontonnya ikut terhanyut dalam pemberitaan yang dibuat olehnya, bahkan tidak jarang orang yang menontonnya ikut membicarakan isi berita tersebut di kesempatan-kesempatan lain di luar jam tayang program infotainment.

Contoh nyatanya adalah, ketika infotainment membicarakan perceraian antara artis A dengan artis B lengkap dengan sebab-musababnya di pagi hari, maka setelah program infotainment tersebut habis para ibu yang kemudian sibuk berbelanja di tukang sayur akan heboh saling memberikan pendapatnya mengenai kabar yang baru diterimanya tadi pagi di televisi.

padahal para ibu tersebut tidak dirugikan baik fisik maupun mental akibat perceraian itu,

padahal para ibu tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mendamaikan kedua artis yang bercerai itu,

padahal para ibu tersebut tidak memiliki akses dan pengaruh untuk menasehati kedua artis yang bercerai itu,

Lalu kebaikan macam apa yang didapat saat membicarakan kejelekan/aib orang lain? bila orang tersebut tidak dzalim kepada kita, pun bila ternyata ia berbuat dzalim kepada orang lain namun rupanya kita tak kuasa untuk menasehati dan membawanya ke jalan yang lurus?

Yuk perhatikan dan renungkan ayat dan hadits berikut ini:

:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian menggunjingkan (ghibah) sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuuraat: 12)

“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat buhtan).” (HR. Muslim. 4/2001. Dinukil dari Nashihatii lin Nisaa’, hal. 26)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:

  1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”
  2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.
  3. Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.
  5. Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
  6. Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)

 

-sebagian diambil dari artikel ‘Ghibah atau Nasihat? — Muslim.Or.Id’ -> http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/ghibah-atau-nasihat.html

-sumber gambar : amblogfree.blogspot.com

Wallahu a’lam bishawab

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.